Olah rasa di Kudus


Apa yang kalian tahu tentang kota Kudus ?. Kota yang paling terkenal dengan wisata religi atau yang terkenal dengan kota kretek karena di sana ada beberapa pabrik rokok terkenal, seperti Sukun dan Djarum. Ada satu lagi, kota ini terkenal dengan kota jenang, salah salahsatunya jenang Mubarok namanya. Yo sebenarnya saya juga baru tahu kalau ada jenang Kudus karena kenalan dari sodara satu komunitas suporter PSS yang berasal dari Kudus dan kebetulan sodara saya ini wong njero ne njero jenang Kudus Mubarok, weleh... 
Perjalanan saya menuju Kudus cukup melelahkan memang, untuk pertama kalinya motor beat street hitam yang baru saja turun bulan Mei 2023 saya gaspol dari Sleman menuju Kudus. Jogja Kudus diniatkan untuk bersilahturahmi sekaligus berkontemplasi. Dan di tulisan kali ini saya akan menceritakan dari sisi silahturahmi saya ke Kudus. Tulisan tentang perjalanan riding sembari berkontemplasi silahkan di baca disini ya https://sandyakalarenjana.blogspot.com/2023/10/akhirnya-reading-juga.html?m=1

Lelah sekalipun jauh dari Jogja terbayarkan ketika bertemu mas Daffa (sodara saya satu komunitas yang saya maksud diatas) dan calon nyonya tentunya. Bagi kalian yang pernah merantau pasti pernah merasakan ini, rasa ketika jauh dari kampung namun merasa seperti di daerah kampung sendiri karena bertemu dengan orang yang dianggap dekat, entah kalian sebut teman, sodara, sahabat, apapun itu. Pemberhentian pertama saat itu langsung menemukan Soto pak Denuh terpampang jelas di pinggir jalan. Jujur saat itu pokoknya cari makan apa aja karena tubuh sudah merasa oleng kapten!, dan mata melihat sebuah warung yang namanya familiar sekali, bagaimana tidak ketika saya search kuliner Kudus, soto pak Denuh yang berdiri sejak 1945 ini selalu muncul dalam rekomendasi disetiap situs yang saya kunjungi. Satu porsi soto ayam dan teh anget tentunya dipesan. Sambil menunggu pesanan kemudian membuka gawai yang sengaja tidak dibuka selama perjalanan, notif dari mas Daffa masuk menanyakan posisi saya. Disusulah saya di soto pak Denuh, hha saya tau bahwa saya melanggar kode etik bertamu karena makan dahulu tanpa mengabari tuan rumah. Untungnya ini soto dengan porsi yang sedang dan perut saya masih bisalah menampung satu menu lagi, ya kasihan perut saya dari Jogja Kudus kalau hanya kemasukan seporsi soto. Setelah itu bertemulah saya dengan mas Daffa, kemudian menghampiri nyonya dirumahnya dan menuju food court seperti pada umumnya. Sesuai perkiraan, makan lagi. Malam itu dihabiskan ngobrol ngalor ngidul dan tentunya meluruskan benang yang secara tidak sengaja bundet haha. Yang lebih mengasyikkan lagi melihat dua sejoli ini gelut, padu, yang mereka sebut sebagai love language. Ada satu hal yang saya senangi ketika edisi Tahadduts bin ni'mah mulai digelar tikar. Walaupun kita ghibah serasa tidak ghibah. Wkwk lho gini, ketika kita membicarakan sesuatu dan menyebut orang lain maka fokus pada esensinya, pada peristiwanya, pada kelakuannya, bukan kepada orangnya dan tentu yang paling penting ada hikmah yang bisa kita ambil, dan mensyukuri nikmat dari Gusti Pengeran (asli aku Jane yo gak terlalu faham). 


Keesokan paginya setelah semalaman ber thadduts bin ni'mah dengan asyiknya, saya diajak berkeliling Kudus dengan mas Daffa. Ziarah ke makam sunan Kudus, sunan Muria, dan tidak lupa berkuliner ria. Sarapan pagi itu di Lentog Tanjung Pak Ndek yang berdiri sejak 1952, sudah legend bukan?!. Menunya seperti gado-gado, berkuah dengan kaldu nikmatnya, ada kupat tahu, bakwan, bumbu kacangnya, bawang goreng melengkapi, cocoklah buat sarapan.


Siangnya mas Daffa mengajak saya makan olahan enthok, warung makan "OM W" namanya. Saya memilih menu gongso entok, ini pertama kalinya saya mencoba masakan ini. Setelah saya search, gongso berarti masakan daging setengah kering. Bingung juga kenapa di masak setengah kering karena menu yang saya pesan ini dihidangkan menggunakan kuah, bingung ? Yowes rapopo. Yang nendang adalah olahan bumbu dan tentu rasa pedasnya. Padahal saya pesan sedang, tapi menurut lidah saya itu pedeeees sekali. Definisi segar tentu bukan melulu tentang dingin atau es, nyatanya hidangan berkuah panas dan pedas seperti gongso entok ini membuat tubuh menjadi segar dengan mengucurnya keringat, huwah sakjose!. 

Setelah makan siang itu, kami kembali menuju tempat beristirahat, mas Daffa melarang saya langsung pulang. Katanya harus istirahat dulu, dan balik Jogja sore harinya. Dan kebetulan setelah bangun telat sekitar jam setengah lima sore malah bisa bertemu dengan mas Cakil, wah saya lupa nama aslinya dan masku ini masih satu komunitas suporter juga wkwk. Dia berkunjung dalam rangka berjualan katanya. Katanya lagi " pokoknya ada kesempatan gas, ada peluang sikat ". 
Pada akhirnya sebelum adzan Maghrib saya meluncur dari kota Kudus kembali ke kampung monarki tercinta. 
" lho yang ziarah ngga diceritain detail, kuliner e aja yang diceritain? ".
Ngga usah yo, yo gitulah sing wareg aja. Astagfirullah duniawi. 


Perjalanan ke Kudus  adalah momen untuk bersilahturahmi mengurai benang kusut yang terjadi karena kesalah pahaman. Memang komunikasi dan keterbukaan adalah koentji sodara-sodara, jangan anggap remeh itu ya, tentunya kebenaran yang coba dicari bukan pembenaran dari setiap dinamikanya. Selain itu saudara saya mas Daffa ini sudah menjadi tempat saya untuk curhat atau mengeluarkan uneg-uneg sejak saya berkecimpung dalam komunitas bola ini, ya banyak sambatannya. Kalimat kalimat, " ikhsan kudu dadi wong tuo, Kabeh kudu dadi wong tuo ", 
" nek ono sing dadi Geni, kudu ono sing dadi banyu, ojo Geni Kabeh Ndak Kobong " itu selalu saya ingat dalam dinamika komunitas yang akhir-akhir ini terasa melelahkan bagi semua pihak. Harus legowo, dan saling memaafkan apapun dan bagaimanapun dinamikanya. 

Sekian cerita olah rasa dari Kudus, entah dirasakan dengan lidah atau dengan hati. Mari benar-benar menepi terlebih dahulu. 

Tabik,. 
Kudus, 14-15 September 2023. 

Comments

Popular Posts