Tudeii akhirnya saya sidang


Jumat pagi, akhirnya artefak kampus satu ini melaksanakan ujian pendadarannya. Mahasiswa tua bangka yang sudah tidak menunjukkan semangat skripsi ini sebenarnya sudah memasuki sakaratul mautnya. Sebentar lagi nyawanya akan dicabut hingga berstatus alumnus karena di Drop out!

Keajaiban terjadi, alat kejut rupanya cukup berhasil membuatnya tetap survive. Agaknya penasaran apa yang ada dibenaknya hingga bisa tetap mengupayakan untuk menyelesaikan skripsinya. Apa yang ia pikirkan, apa yang ia bayangkan. Mungkin di bawah ini kita akan mencari tahu, dan semoga bisa menggali sedalam-dalamnya. 

SEBAB AKIBAT

Tentu kita akan flashback terlebih dahulu, mengapa mahasiswa ini bisa sangat lama menyelesaikan skripsinya. Tanpa basa-basi, intinya dia mempunyai kekurangan yaitu kurang baik dalam mengatur waktunya, mengatur skala prioritasnya, menunda-nunda, intinya red flag!. 

Dari sekian kekurangan yang ada satu hal yang membuatnya masih bertahan bisa jadi adalah kesadaran akan kekurangan yang ia miliki. Berusaha untuk tidak menyangkalnya, mengakui memang ada kekurangan itu. Sebuah kesadaran. Tinggal bagaimana respon yang ia berikan menanggapi kekurangannya itu. Yang pasti ia mencoba untuk memperbaikinya walaupun terperosok lagi dan lagi (percayalah). Ia juga mempunyai kepekaan untuk merasakan bahwa langkahnya ada yang salah. Kadang ia tahu salahnya dimana kadang juga merasa frustasi mengapa ia salah melangkah dan dimana kesalahannya. Proses itu terus berjalan hingga ia menemukan pelajaran bagi dirinya sendiri. Bagaimanapun juga ia tetap berjalan dan terus bergerak. Inilah yang ingin dicari dalam tulisan kali ini, energi apa yang menopangnya untuk terus berjalan dan bergerak. 

"Baru kali ini udah dinyatakan lulus tapi kok lemes, ngga mau ngucapin makasih ke dospem apa san"

Apa ya, perasaannya saat itu lebih terasa lelah saja. Tidak excited tapi juga tidak mager, biasa saja. Flat. Presentasinya pun mengalir dengan derasnya. Terasa cepat (kata dosen) walaupun tepat pas 14 menit sebelum waktu yang telah diberikan yaitu 15 menit. Rasa lelahnya terasa amat sangat, sedikit gregesi, menutupi rasa gugupnya. Ada peristiwa seminggu sebelumnya yang membuatnya merasa terbebani, walaupun akhirnya ia bisa mengatasi rasa berat itu. Namun peristiwa itu membuatnya kehilangan semangat, eh lebih tepatnya gairahnya, karena kalau semangat kenyataannya ia tetap bersemangat untuk terus mengupayakan. Mengalir, hanya mengikuti arus yang membawanya hanyut menjalani proses disisa waktu skripsinya. Dinamika yang terjadi di responnya dengan datar, tidak senang pun juga tidak merasa sedih. Yang ia tahu, tahun ini adalah fase dia terakhir menjalankan perkuliahan bagaimanapun akhirnya. 

"Baik, izin waktunya sebentar bapak ibu". Ia lalu merespon dospem pertamanya itu untuk memberikan satu dua patah kata. Bisa dibilang perasaan sentimennya keluar di moment ini. Mengucapkan rasa terimakasih kepada dosen karena telah menemaninya dalam proses yang ia lalui dengan segala dinamikanya. Tak lupa ia juga mendoakan kesehatan dan kelancaran kepada dosen dosennya ini. Ia bersalaman dan pamit keluar ruangan. 

HARU ITU MUNCUL JUGA

Sebelum dan sesudah presentasi, ia menghubungi satu per satu orang-orang dekatnya. Ia meminta doa sekaligus memberikan kabar bahwa akhirnya manusia ini sudah melaksanakan ujian pendadarannya. Awalnya ia tidak ingin memberi tahu siapapun. Bahkan sehari sebelumnya beberapa yang menanyakan kapan ia sidang tidak ia jawab dengan serius. Gayanya sih begitu, namun akhirnya dibenaknya terpikir orang-orang yang selama ini mensupport-nya harus ia beri kabar bahagia. Dari sekian kabar belum mengenakkan "belum, belum, doanya ya" akhirnya kabar bahagia itu datang juga darinya "Alhamdulillah". 

Moment inilah yang membuatnya terharu. Menjadikan sidang skripsinya hangat ia rasakan. Sembari mengabari satu per satu, ia juga mengingat bagaimana setiap orang ini ada dalam proses skripsinya. Mereka yang selalu menanyakan dengan sangat serius karena memang ingin tahu progressnya, mereka yang sesekali datang menghibur, mereka yang bahkan membantu secara materil, dan tentu yang selalu tak putus asa untuk membesarkan harap, mendoakan. Memori itu membuatnya bersyukur atas moment sidangnya ini. Akhirnya ia menjawab harapan orang-orang dekatnya. 

Dibawah ini beberapa capture isi chatingannya yang diabadikan disini akan dibagikan dan bisa dirasakan bersama. 

Khusus untuk ini, please Wellcome Abang Wahyu. 

From this

To this
Haha, sekilas cuplikan kolom chat dimana foto atas adalah foto lampau, dan kemudian foto dibawahnya akhirnya kabar bahagia itu datang. Salah satu senior yang memonitor progres saya dan membuat saya menghadap Abi dosen (ytta). Kemudian dibawah ini ada beberapa cuplikan yang ia ambil dari kolom chatnya. 






Semoga menjadi monumen abadi yang akan dikenang, haha walau sederhana gini, laki-laki sentimen sepertinya akan gampang haru. 

Ia melanjutkan bahwa ia bisa membayar kepercayaan mereka, tidak mengecewakan mereka (takut sekali ini), dan yang terpenting dari semua ini adalah ia bisa bertanggungjawab terhadap apa yang ia mulai. Mereka sudah dianggapnya orang-orang yang akan selalu menemaninya. Pertanyaan mereka tidak sekedar basa-basi, tapi memang ingin tahu bagaimana kondisinya, progresnya. Sekali lagi, di moment inilah perasaan flat-nya terhadap sidang skripsi tertutupi dan diganti perayaan penuh suka cita dengan orang-orang pentingnya. 

Untuk keluarga saya, sahabat-sahabat saya, kakak-kakak saya, adik-adik saya. Sehat sehat kalian ya! 

MEMBAYAR KEPERCAYAAN YANG DIBERIKAN

Sebenarnya kalimat "membayar kepercayaan" agak aneh saja saya rasa, tapi saya juga tidak menemukan kalimat lainnya untuk mengganti kalimat pakem tersebut. Jika di ganti pembuktian kepercayaan malah tambah aneh. Apanya yang dibuktikan?!. 

Di daerah tinggalnya ia sering mendorong teman-temannya (yang berusia lebih muda darinya) untuk melanjutkan kuliah setelah lulus dari bangku sekolah. Bahkan saat moment pertemuan ia akan membicarakan apa yang ingin dilakukan kedepannya termasuk perkuliahan. Bukan tanpa sebab, di daerah yang dipepet kampus ini, ia merasakan bahwa kuliah masih menjadi privilese disini. Kuliah (pendidikan tinggi) dipandang hal yang kurang perlu, lebih baik kerja saja. Pandangan itu tidak salah terlebih jika dilihat bagaimana biaya perguruan tinggi saat ini yang kemudian diperparah dengan pilpres kemarin. Ada apa dengan pilpres?. Suka tidak suka, kenyataannya salah satu hasil dari hajat pilpres kemarin adalah munculnya sebuah stigma di kalangan grassroot bahwa kuliah, berpendidikan, pintar, jago publik speaking dsb, itu tidak ada gunanya. Untuk apa?!. Lebih baik kerja kerja kerja daripada pintar tapi hanya bisa ngomong tok (publik speaking bagus). Ditambah berita terkini kalau pengangguran lulusan sarjana juga menyedihkan sekali. 

Semua informasi itu diserap oleh mereka (Masyarakat) untuk mempertanyakan apa pentingnya jenjang kuliah. Nah orang satu ini, yang baru saja sidang adalah termasuk yang mengkampanyekan kuliah itu penting tapi fakta dilapangan dia lulus mentok. Haha tau kan, hal tersebut menjadikan beban tanggung jawab yang harus ia bayar. Walaupun ia seringkali berupaya untuk memperlembut kalau pendidikan itu adalah hak, itu adalah kewajiban sebagai manusia yang harus diupayakan untuk meningkatkan daya pikir kita, untuk meningkatkan cara berpikir kita. Urusan pekerjaan (realistis sebenarnya) itu akan mengikutinya. 

Bisa dibayangkan jika dia DO, apa tidak tambah parah itu alasan untuk tidak kuliah, untuk semakin mendiskreditkan "pendidikan tinggi". "Ngapain kuliah, masnya aja DO" nangesss. 

Intinya dia harus bisa mencapai berbagai capaian untuk hidupnya. Membayar kepercayaan kepada diri sendiri bahwa ia bisa. Ia bisa melakukannya, ia bisa menggapai apa yang ia cita-cintakan. 

"Proses kuliah itu juga menggambarkan seseorang yang berani bertanggungjawab menyelesaikan apa yang sudah ia mulai"

Kalimat diatas ditemukan dari reels Instagram beberapa tahun yang lalu. Ia mengatakan dalam proses panjang inilah yang akan melatih manusia untuk berproses dengan waktu yang bisa dikatakan panjang dan dia diharuskan untuk berprogres hingga selesai. Berbagi dinamika akan ia hadapi, turun naiknya, lelah tenaga, mental, pikiran, materi, akan dihadapi. Tarik ulur yang ia sebut sebagai seni berinteraksi untuk berdiskusi menemukan titik temu juga mengasah kemampuan berbicaranya-analisnya. Yang terpenting adalah kemampuan untuk melihat-berpikir sesuatu dengan runut. 



Bersama ngab Toni (dospem 1)

Diawal perkuliahan dulu ia juga sudah memastikan bahwa proses ini secara tidak langsung bukan bertujuan untuk kerja. Tapi proses perkuliahan ini adalah untuk belajar. Ia yakini betul itu, walaupun di lapangan kalian akan geleng-geleng sembari membatin "kakean ngomong" kwwk. 

"Tidak ada skripsi yang sempurna, skripsi yang bagus adalah skripsi yang selesai". 

Terakhir ia sangat mengapresiasi bagaimana proses dirinya untuk berani melangkah, berani menghadapi-tabrak saja- yang ia sangat rasakan betul kemajuannya. Masalah disiplin tentang waktu dan skala prioritas terasah di proses ini. Tentu sebagai laki-laki ia merasa bahwa jika ia gagal pada proses ini maka untuk melanjutkan step kehidupan berikutnya akan jauh lebih berat, karena pun dia lulus tetap saja proses yang harus ia lalui juga berat. Proses yang harus ia kejar juga begitu berat. 

Tapi setidaknya ia masih percaya dan berharap. Serius, dia merasakan energi itu. Rasa percaya, harapan yang masih ada, adalah energi untuk dia terus bergerak melangkah. Alhamdulillah ala kulli hal.

Tiada daya dan upaya melainkan dari pertolongan-Nya 


Comments

Popular Posts