Jogja rumah kita
Ada satu buku dari Emha yang sangat ingin saya beli namun belum kesampaian sampai sekarang. Buku itu berjudul "Indonesia Bagian Dari Desa Saya". Buku yang pertama terbit sejak 1979 ketika Emha berusia 26 tahun itu sudah lama ingin saya pinang terlebih saya ada janji dengan kawan dekat saya, Haidar untuk memberikannya buku tersebut. Bagi saya dan Haidar yang biasa ikut Sinau bareng Mocopat Syafaat, buku ini saya anggap master piece. Dilihat dari judulnya saja kita sudah bisa menebak bagaimana isinya. Tentu Emha akan berbicara tentang Keindonesiaan dari sudut pandangnya. Bahwa negeri ini adalah bagian dari desanya.
Jogja Bagian dari Rumah Saya.
Jika Indonesia adalah sebuah desa, maka Jogja adalah rumah saya. Kita ketahui bersama kondisi negara kita saat ini, gelap, tak tentu arah, pemimpinnya kosong, cita-cita dari para pendiri dan amanat undang-undang masih jauh, bahkan semakin oleng entah kemana arahnya. Naif, tapi mari kita urus juga daerah tempat kita lahir ini. Minimal tancapkan keyakinan bahwa segelap apapun negara ini, Daerah Istimewa ini harus lebih baik, jangan ikut terbawa gelap. Lebih khusus lagi, saya mengajak kalian kawula muda untuk mulai membicarakan issu terkini terkait daerah kita. Suarakan keresahan kalian atas kota ini. Kalian yang berpenghasilan UMR, yang lebih rendah, yang sesuai, atau yang sedikit lebih tinggi, dan bahkan kalian yang diberikan rezeki banyak melampaui salah satu UMR terendah di negara ini. Mari berisik!
Untuk kalian yang sudah pusing memikirkan akan tinggal dirumah mana besok ketika sudah berkeluarga. Harga tanah tidak sebanding dengan penghasilan kalian, berharap rumah lengseran orang tua ?, mereka saja memakai lengseran orang tuanya (simbah) atau tanahnya yang tersisa. Terus kita ?, bisa sih, bisa rebutan sama saudara kandung lainnya.
Bagaimana dengan akses publik, entah itu akses pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum. Sudah ada tapi masih jauh dari kata maksimal. Sebagai kota pendidikan, cek aja berapa persen warga asli yang bisa berkuliah. Lihat biaya kuliah mungkin sudah minder ngewel duluan. Kondisi jalanan yang banyak orang mengatakan sudah seruwet Jakarta. Walau kadang masih diromantisasi dengan "jalanan Jogja adem tanpa klakson". Naik TJ (Trans Jogja) murah, tapi bosen nunggunya di halte, apalagi malah tambah lama dijalan karena kena macet juga.
Daerah dengan ketimpangan tertinggi. Luar biasa bukan, Keistimewaan yang melekat ternyata diikuti dengan predikan daerah dengan ketimpangan tertinggi. Yang miskin makin miskin, sering terjerat pinjol. Kemudian yang kaya makin kaya, walaupun jumlahnya sedikit. Selain itu, Kota Pariwisata. Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa dana keistimewaaan memang sedang difokuskan kepada kepentingan pariwisata, terutama rumah sang Gubernur alias Sri Sultan X. Memagari halaman depan istana disaat covid, memugar benteng istana, dan terakhir menutup terowongan Plengkung Gading yang positif saya disiapkan untuk upacara kebudayaan menuju Giriloyo.
Sampah ? Keamanan ? Premanisme ?. Masih banyak lagi segudang masalah di daerah Istimewa ini. Sekali lagi kawan - kawan, mari berisik menyuarakan hak dasar kita sebagai warga daerah ini.
Comments
Post a Comment