Mari kita maknai
Akhir-akhir ini saya mulai menulis diawali dengan kalimat "mari kita maknai". Kalimat itu membantu saya untuk mengeluarkan kata demi kata membentuk kalimat utuh dan menjadi paragraf ber paragraf kemudian. Entah apa yang sedang dimaknai, bisa sebuah peristiwa, atau ide atau foto atau sebuah benda apapun itu walaupun jika di bolak balik juga ujungnya sama saja. Semuanya dimaknai.
Sederhana, agar semua yang ada disekitar kita, yang sedang atau sudah atau akan terlewati kita sadar akan hal itu.
Mari kita mulai dengan foto di bawah ini:
Hari ini dirumah kedatangan keluarga dari jauh yang sudah lama tidak berkunjung ke Jogja dengan pasukan lengkap. Yaa walaupun kali ini masih belum dikatakan full squad namun suasana yang terjadi mengingatkan saya akan bertahun-tahun lalu ketika masih duduk dibangku sekolah. Suasana kedatangan keluarga jauh yang pulang kampung.
Suasana liburan entah libur sekolah, atau libur hari raya akan selalu ditunggu kehadiran mereka. Keluarga dari Pontianak dan Parakan biasanya akan hadir. Terutama Parakan yang sangat dekat jika dibandingkan dengan Pontianak tentunya. Pertanyaan antusias akan muncul dikepala "Parakan ke Jogja ngga ?". Bagaimanapun juga, senang rasanya kedatangan keluarga jauh (Parakan ya dekat ya, ya gakpapalah) yang musiman akan pulang ke Jogja. Mengunjungi Simbah Kakung utinya. Menyenangkan, suasana rumah akan terasa penuh keceriaan dan kehangatan. Bersenda gurau, bermain berlarian kesana kemari, bercengkrama dengan mereka yang lebih tua, rasanya hangat. Terlebih dengan latar suara takbir saat malam hari raya, tidur berjamaah diruang tengah (kebayang ngga sih hangatnya moment itu). Kalian pernah melihat gambar ilustrasi suasana rumah kakek-nenek disaat musim mudik, ya seperti itu. Crowdid tapi seru, asyik, hangat, terlebih jika moment itu hanya bisa dikenang saja, karena mungkin sudah ada yang pergi, suasana berganti, kesibukan masing-masing menyita waktu, seperti keluarga terdekat Parakan yang mulai mencar di Jogja dan Jabodetabek. Ya setiap orang ada masanya setiap masa ada orangnya.
•
Kakung meninggal pada tahun 2015 agaknya cukup merubah perlahan suasana. Mulai dari situ suasana agak mulai berubah, walaupun tetap ada uti di Jogja tetap saja kehilangan salah satu tujuan pulang menjadi sebuah ruang kosong yang tidak bisa dijelaskan namun pasti kita semua dapat merasakannya. Uti satu tahun kebelakang mulai menunjukkan kondisi yang terus menurun drastis, setelah beberapa tahun suasana "rumah kampung halaman" itu sedikit hilang, hari ini saya menemukan suasana itu kembali. Benar, suasana itu diciptakan. Uti melewati lima hari di rumah sakit dengan baik. Anak cucunya berdatangan, menemani uti melewati fase ini.
Merawat yang ada
Uti masih bertahan hingga sekarang, dan selayaknya anak cucunya mengupayakan untuk menemaninya ditengah kesibukannya masing-masing. Uti termasuk lansia yang mempunyai daya ingat tinggi, ia suka bercerita tentang berbagai hal. Uti pandai bercerita, sesekali bercanda kepada cucunya. "Kalau sudah siap baru, kok ujug ujug arep rabi", salah satu kalimat yang ia lontarkan dengan geli membuat dua cucunya tertawa di ruang perawatan malam itu ketika saya meminta doanya.
Tulisan diatas adalah tentang memaknai foto dan memaknai uti saya. Sekali lagi, suasana itu diciptakan.
Ingat lirik lagu payung teduh ini:
Mengapa takut pada lara
Sementara semua rasa bisa kita cipta
Akan selalu ada tenang
Disela sela gelisah yang menunggu reda.
Alhamdulillah ala kulli hal.
Alloh sayang 🖤
Babarsari. 30.05.2025
Comments
Post a Comment