Masjid sebagai oase
Sampailah saya dizaman dimana minuman keras dijual bebas layaknya toko kelontong dijalanan. Tanpa tertutup, kamuflase, semua serba terbuka. Di Babarsari, kalian dalam radius kurang 2km bisa bertemu 2 toko minuman keras, atau dengan waktu 10 menit perjalanan kamu bisa menemukan 4-5 toko minuman keras.
Saya mengamini bahwa miras adalah pintu masuk untuk "keburukan" lainnya. Turunnya kesadaran saat meminumnya, hingga meremehkan berbagai hal aturan akan berdampak pada "keburukan" lainnya.
Ingin sekali menyalahkan mereka yang berkuasa atas fenomena ini. Mengapa bisa terjadi, kebijakan apa yang bisa membuat miras dijual bebas layaknya toko kelontongan. Tapi mengumpat sendiri juga tidak menyelesaikan masalah. Lagi lagi, solusi individualistik harus juga dilakukan walaupun saya tahu ini problem sistematik.
Minimal lingkungan terkecil, dari keluarga atau lingkungan rumah bisa diminimalisir. Benteng terakhir, beban diberikan kepada masyarakat untuk mandiri menjaga edanya zaman. Sudah minum miras, main judi slot, pinjol. Luar biasa, rusak di segala lini. Tingkat kriminalitas meningkat?, Wajar...
Lalu, ikhtiar diupayakan. Teringat kata "we make habits dan habits make us". Lingkungan memang nyatanya mempengaruhi, kecil maupun besar lingkungan akan berdampak pada setiap individu didalamnya. Bisa dari pola pikir dan kebiasaan tindakan perilaku. Lagi-lagi masjid menjadi tempat benteng terakhir.
Menjadikan masjid sebagai fasilitator dan juga solusi untuk memberikan oase ditengah edanya dunia ini. Membentengi lingkungan dimana masjid itu berada dari hal-hal buruk yang ada. Menguatkan pondasi tiap individu untuk tidak terbawa arus menjerumuskan. Menjaga generasi muda dan memberikan lingkungan yang terbaik bagi generasi berikutnya.
Semua usia harus dijaga. Setiap mereka, entah yang tua, yang muda, yang masih belia mempunyai resiko dan andil masing-masing. Yang tua, terutama ibu di berikan kekuatan bahwa dirinya mempunyai kuasa hebat untuk menjaga tiap keluarga di lingkungan itu. Sebagai bapak, harus diberikan pemahaman lebih akan tanggung jawab menjaga keluarganya. Seorang pemuda-remaja diberikan pagar kuat agar tidak menyerong tajam, dan tentunya yang masih belia ditanamkan pondasi kuat menghadapi zamannya ini.
"Ngapain ngurusin lainnya, urus aja diri sendiri, minimal keluarga sendiri". Ada benarnya, dan ada juga salahnya. Seperti yang dikatakan ustadz Edgar, ngurusin diri memang perlu, tapi ngurusin yang lainnya itu juga perlu. Untuk apa dakwah kalau ngga ngurusin yang lainnya. Peka melihat lingkungannya, yang sadar atau tidak juga akan berdampak pada diri sendiri dan keluarga sendiri. Kecuali di lingkungan tempat tinggal, rumah berpagar tinggi, jarang bersosialisasi, dan desa sebatas sebagai tempat untuk istirahat saja, mandi, makan, kemudian lebih banyak bersosialisasi di luar.
Masih banyak yang menyangkal bahwa ikut menjaga anak orang lain juga sama halnya menjaga anak sendiri, karena mereka adalah teman yang sering bertemu untuk bermain, masing-masing dari mereka akan saling mempengaruhi. Itu lingkungan. Pun sama halnya menjaga tetangga. Apakah nyaman mempunyai tetangga yang bermasalah?, jelas tidak. Kecuali tadi, dirimu seorang apatis yang rumahnya ada bentengnya.
Masjid sebagai oase.
Kamu pernah berada atau minimal melihat lingkungan dimana jalanan bisa kamu temui anak-anak kecil menggunakan songkok dan sarung saat jam sholat?. Atau bapak-bapak yang sedang bertegur sapa pulang-pergi masjid?, atau ibu-ibu yang bergerombol sehabis pulang pengajian?. Lingkungan yang seperti ini insyaalloh akan lebih mudah untuk dijaga. Tentunya harus dengan strategi matang, dan terus waspada akan perubahan zaman.
Masjid harus menjadi pusat segala aktivitas masyarakat. Apapun aktivitasnya walaupun tidak ada hubungannya dengan kegiatan sembahyang, seperti rapat pemuda, bapak-bapak, arisan ibu-ibu dipersilahkan menggunakan serambi masjid atau bahkan ruang utama. Kadang standar kita terlalu tinggi, hingga buta realita bahwa masyarakat atau anak muda yang masih mau datang atau minimal dekat masjid dizaman ini sudah syukur alhamdulilah.
Takmir masjid sebagai organisasi yang menggerakkan segala sendi-sendi masjid harus bisa menyesuaikan lingkungan dan zamannya tentu dengan tetap memperhatikan hal-hal prinsipil yang tidak bisa ditawar. Masjid adalah tempat yang seharusnya nyaman digunakan. Segala aktivitas masyarakat entah yang ada hubungannya dengan ibadah ataupun tidak layak untuk di fasilitasi. Biarkan masyarakat menggantungkan diri dengan rumah ibadah ini. Contohnya? Tentunya masjid percontohan Jogokariyan. Tinggal disesuaikan dengan lingkungan masing-masing.
Berarti jajaran ketakmiran masjid harus diisi orang-orang yang minimal peka dengan keadaan masyarakatnya ya. Betul sekali. Mereka orang-orang tua yang merasa harus melindungi keluarganya di lingkungan tempat tinggalnya, mereka anak-anak muda yang resah dan merasa terpanggil memang harus berinisiatif untuk turut serta. Jangan hanya ngomong dibelakang tapi tidak bertindak, apalagi pasif. Keluarkan uneg-uneg saat forum, atau minimal manfaatkan setiap pertemuan dadakan sesudah sembahyang. Dari hal-hal itu akan tumbuh kesadaran dan kemudian gerakan konkrit untuk mengatasi keresahan yang ada.
Ingat kata pak Jokowi, "revolusi mental". Bangunan masjid boleh baik dan bagus. Tapi tidak usah megah. Yang terpenting malah masjid bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Menjadi tempat pusat kegiatan masyarakat. Membangun bangunan fisik memang terlihat mudah, dan kelihatan dimata. Tapi membangun manusia, itu tidak terlihat dimata dan berlangsung sangat lama.
Ummah 🌻
Comments
Post a Comment