Kehidupan yang gelap

Baru saja melihat instastory teman kampus, wah makdeg, salah satu kawan telah sidang tadi pagi. Wah ikut senang tentunya, makdeg sekaligus saya tersalip lagi. Padahal pagi tadi saya sempat ke kampus untuk cek pengajaran karena kata dospem saya dia akan meninggalkan coretan berkas saya di sini Minggu ini. Berkasnya belum ada, beliau juga belum merespon via wa, dan oke wajar kuliah sedang berjalan online menjelang hari raya. 

Merasa gagal aja di saat-saat seperti ini. 
"Orang lain bisa, kok saya ngga ya". 
Tentu itu respon yang kurang tepat, sesaat saja. Besok lanjut lagi, mengupayakan lagi. 

KELUARGA JAUH DATANG
Tadi siang rumah kedatangan tamu jauh, keluarga dari Sumatra yang biasanya datang H+ ramadhan tiba-tiba sudah di Babarsari. Tentu agak bimbang apakah akan menemui atau tidak. Tau gak, bahwa rencana sidang februari saya batal padahal hampir semua keluarga besar tahu bahwa februari sudah goal. Bukan saya menyebarkan informasi itu, ya gimana mereka ngga tau ya, hampir 2 hari sekali ada aja yang menghubungi untuk sebatas nanya progress. Untuk hal itu saya seneng banget, iam appreciate it. Tapi saya ga siap menemui mereka nanti hari raya. Akhirnya tadi dengan ah bodo amat, saya menemui keluarga saya yang sudah jauh-jauh datang. Keluarga dari sepupu tertua. Saya adalah cucu Simbah ke terakhir (anak kesembilan) dan yang datang tadi adalah cucu Simbah pertama. 

Support system
Melanjutkan paragraf pertama, kawan saya merespon ucapan selamat saya dengan "cari support system makannya". I know, you know apa yang ia maksud. Sejenak mikir, kalau support system itu adalah orang yang mendukungmu - menemanimu, maka saya punya banyak orang itu. Orang tua, keluarga, teman-teman dekat. Tidak kurang, mereka support system saya. 

Tiba-tiba saya teringat kalimat teman saya ketika bukber beberapa hari lalu. Ia mengatakan bahwa saya harus mencari pemantik untuk apa saya melakukan ini itu, dan jawaban saya membuat saya menyesal kemudian sampai akhir ini...

Comments

Popular Posts