berlibur bersama keluarga

Semin, Gunung Kidul. Dirumah yang bisa dikatakan cukup besar didaerah desa seperti ini. Jarak antar rumah yang masih berjauhan, sawah ladang perkebunan dimana-mana melengkapi ciri khas sebuah desa. Rumah ini dihuni oleh saudaraku, om Bambang, adik dari ibuku. Om Bambang tinggal bersama istrinya, Bulik Eni dan bersama empat anaknya. Walaupun empat anaknya sudah merantau untuk menempuh pendidikan mereka. Semuanya di didik di pesantren. Anak pertama adalah wanita sepantaran ku yang sekarang sedang kuliah di UNY, yang kedua laki-laki dan sedang menempuh pendidikan sekolah tinggi di Arrayah Sukabumi. Dan anak ketiga dan keempat masih di pondok di daerah Solo. Bisa dikatakan keluarga ini dibangun dengan pondasi agama yang kuat. 

Ada yang menarik, disini Bulik Eni sebagai istri yang bekerja mencari nafkah dan om Bambang sebagai suami bisa dibilang menjadi bapak rumah tangga mengurus segala keperluan rumah. Cerita itu berawal ketika om Bambang pulang dari Jepang. Setelah itu entah apa penyebabnya, pasangan ini membuat kesepakatan siapa yang dirumah untuk mengurus rumah dan siapa yang bekerja mencari nafkah. Akhirnya diputuskanlah Bulik Eni sebagai istri yang bekerja. Entah apa alasannya, tapi mungkin karena Bulik Eni ini bekerja sebagai guru dan saat itu kemungkinan menjadi PNS sangat besar peluangnya, Alhamdulillah sekarang sudah PNS. Sementara om Bambang setelah pulang dari Jepang belum menemukan pekerjaan tetap, jadilah Bulik Eni yang keluar untuk bekerja. Ya tak masalah, buktinya mereka tetap survive dan bisa menjalani bahtera rumah tangga dengan sangat baik. Harmonis, romantis, dan agamis. 

Setelah berpindah-pindah kontrakan, pada akhirnya keluarga ini membangun rumah di kampung halamannya sendiri, Semin tepatnya. Rumah ini dibangun diatas tanah milik bapak dari Bulik Eni sendiri dan bahannya diambil dari pohon-pohon jati yang sebelumnya tumbuh mengisi tanah ini. Rumah ini dibangun di sebuah pedesaan yang masih asri, suara serangga masih mendominasi, udara yang sejuk, sawah ladang berhektar-hektar, dan kehidupan tetangga yang ramah khas pedesaan. Karena itu diriku senang sekali menghabiskan waktu disini. Berjarak kurang lebih 35 km dari rumah dan ditempuh sekitar 1,5 jam ( dengan kecepatan tinggi ). Jauh ?, Mungkin bisa dibilang jauh. Tapi nggaklah, selagi masih berada di wilayah Daerah istimewa Yogyakarta, sejauh apapun anggap saja dekat.

Selain menikmati suasana pedesaan dan berlibur untuk mencari suasana baru, ada hal lain yang sebenarnya lebih penting, yaitu memperbaiki sirkulasi ibadah sholat Lima waktu. Hehe, dirumah ini semua laki-laki wajib ke masjid, alhasil diriku yang laki-laki ini terbawa juga arus ombak rutinitas keluarga ini. Sebenarnya dimanapun laki-laki wajib hukumnya kemasjid, namun mungkin jika diperbolehkan untuk mencari alasan, saat aku dirumah, lingkungan yang mengajakku kemasjid tidak sebaik disini, hehe alhasil saat di Babarsari aku menjadi spesialis Kumat dan baru beranjak untuk pergi kemasjid atau kalau mager ya dirumah. Astagfirullah... 

Mungkin itu sedikit yang bisa aku ceritakan tentang keluargaku di Semin. Lain waktu insyaalloh doakan saja aku bisa menuliskan cerita yang lain lagi tentang Semin dan keluarga disini. Hari ini beberapa keluarga yang berada di Jogja pada main keatas menikmati weekend. Alhamdulillah semua masih sehat dan insyaalloh sehat terus. 


Comments

Popular Posts